NAHDLATUL ULAMA adalah organisasi sosial keagamaan yang terbentuk pada tanggal 18 Rajab 1345 H./ 31 JANUARI 1926 M. Beberapa pendirinya adalah KH. Hasyim Asy'ari, KH. Bisri Syamsuri, KH. A. Wahab Chasbullah dan anggota komite Hijaz. Bermula dari Komite Hijaz yang terbentuk kala itu kemudian berkembang menjadi organisasi kebangkitan Ulama atau yang lebih dikenal dengan NAHDLATUL ULAMA yang sampai saat ini telah membantu mencerdaskan bangsa melalui dunia pendidikan beserta ulama-ulama yang berakhlakul karimah.
Sejarah
Keterbelakangan, baik secara mental,
maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat
kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang
muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan
memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,
muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih
melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul
Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik
kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul
Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan
asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi
karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat
dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan
Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab
dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang
berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di
Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai
delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah
yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh
minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat
delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab
Hasbullah.
Atas desakan kalangan
pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru
umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat
ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite
dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu
dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi
dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi
yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31
Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais
Akbar.
Untuk menegaskan
prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun
Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah
Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU ,
yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik.
Riwayat Perjuangan
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'
Setelah kaum Wahabi melalui
pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh
daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia.
Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka
mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan
masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang
dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua
batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut
sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz,
yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,dengan memilih salah satu dari
empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh
bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut
oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab
saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut
kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di
Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori
oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum Hadlratus Syaikh KH. Hasyim
Asy'ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada
pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz,
yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz
bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu
Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan
ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu
Sa'ud.
Pada tanggal 31
Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel
Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai
realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan
ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL
ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut:
Ra'is Akbar : Hadlratus
Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Wakil Ra'is : KH.
Said bin Shalih
Katib Awwal : KH.
Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas
H. Alwi Abdul Aziz
A'wan : 1.
KH. Abdul Halim (Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang.
4.
KH. Said.
5.
KH. Abdullah Ubaid, Surabaya.
6.
KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7.
KH. Amin, Surabaya.
8.
KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng
Musytasyar : 1.
KH. Asnawi, Kudus
2.
KH. Ridlwan, Semarang.
3.
KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.
4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.
6. KH. Hambali, Kudus.
Presiden : H. Hasan Gipo
Penulis : H. Sadik alias Sugeng
Yudodiwiryo
Bendahara : H. Burhan
Komisaris : H. Saleh Syamil
H.
Ihsan
H.
Nawawi
H.
Dahlan Abd. Qohar
Mas
Mangun.
Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'
dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan
Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di
seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan
Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga
organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan
oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
Perjalanan NU 1926-1929
Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir
pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua
tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada
Jam'iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata
telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan
oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya.
Tugas-tugas tersebut antara lain:
1. Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil
menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu:
H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke
Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi
Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan utusan yang
khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad
Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik.
Kedua beliau ini
pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul
Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain
menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang
menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang
dianutnya.
2. Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka
sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap
rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang
isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa
Belanda dari Eropa.
2. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale
Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada
warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
4. Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah
menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal
politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU
mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk
Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada
tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda
sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA"
untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang
NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan
ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi,
beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang;
tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut
satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul
Ulama' mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar
berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif
singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yang antara lain:
1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang
menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi
Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang
tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang harus
menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu
untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup
melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada
tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul
Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan
keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan
madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
- Madrasah Umum, yang terdiri dari:
- Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
- Madrasah
Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
- Madrasah
Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
- Madrasah Mu'allimin
Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
- Madrasah Mu'allimin
'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
- Madrasah Kejuruan
(Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
- Madrasah Qudlat
(Hukum).
- Madrasah Tijarah
(Dagang).
- Madrasah Nijarah
(Pertukangan).
- Madrasah Zira'ah
(Pertanian).
- Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).
Kelahiran Al Majlis
Al Islamiy Al A'la (MIAI)
Pada masa penjajahan
Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah
penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan
di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk
menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk
mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937
Nahdlatul Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia
dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI),
dengan susunan dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari
NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari
PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas
Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman,
dari PII
Adapun tujuan
perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
- Menggabungkan
segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
- Berusaha mengadakan
perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia,
baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum.
- Merapatkan hubungan
antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
- Berdaya upaya untuk
keselamatan agama Islam dan ummatnya.
- Membangun Konggres
Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952
Kelahiran Majlis
Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan
Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah
suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:
- Menyadarkan rakyat
atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi
kemakmuran bersama.
-
Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.
- Khutbah-khutbah dan
pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.
- Memberi keterangan kepada
rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan
Asia Timur Raya.
- Memperkenalkan
kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah
Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato
di hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir
Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada
pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan
golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan
dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori
kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi
yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik
yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju
Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat
dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar
rakyat
Pemerintah Penjajah
Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para
ulama' di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang
dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia
(mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar
masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,
semuanya ta'at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para
ulama'.
Oleh karena itu,
penjajah Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memukul bangsa Indonesia
sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah
Jepang meminta kepada para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk
memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul
Ulama' sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang
terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama'
berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah.
Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk
membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun
sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU
selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma
sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah Jepang
bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela
dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah
yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari,
mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia
adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU
serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat
Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga
mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya
dalam peristiwa 10 November '45
Pengurus Besar NU
hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang
mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku
penjajahannya di Indonesia.
Kelambanan NU dalam
hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi
diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang
menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan
selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa
Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa
penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam,
mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres
tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari
Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan
Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan
Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Ketua Muda I : Ki Bagus
Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul
Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H.
Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno
Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono
Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto
Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai
Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama'
selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai
cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama' yang dimotori oleh
KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya
mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal
pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada
kongresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai
menjadi anggota Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor
Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII
(Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata,
beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang
mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah
mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi
segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka
rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan
hubungan antara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para
petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka
para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan
diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII
menjadi partai.
Pengunduran diri PSII
tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada
muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 -
19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi
Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus
dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang
telah merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga
Nahdlatul Ulama'. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan
ummat Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar
organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam,
sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi
yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga
memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di
Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri
sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama'
membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul
Ulama' keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik
ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu
Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan
yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang
sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini
mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30
Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di
Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari
Nahdlatul Ulama', PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul
Ulama' menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan
juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara
pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu
mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis
Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama' pada saat itu betul-betul sempat membuat
kejutan pada organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul
Ulama' dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini
menambah kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama'. Nahdlatul Ulama'
sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh
setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi
mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah
dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan
demikian, Nahdlatul Ulama' dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang
sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama' sendiri
dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran
kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab
itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang sudah berada di puncak
mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai,
munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai
ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955.
Nahdlatul Ulama' harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan
bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang
menjadi tujuan Nahdlatul Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul
Ulama' membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut
aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang
membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan,
Nahdaltul Ulama' harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan
Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri.
Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam
mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena
pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat
yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini
sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun
1967/1968, Nahdlatul Ulama' mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang
sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur.
Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' sudah
mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu
dicurahkan dalam masalah-masalah politik.
Penyederhanaan
Partai-Partai
Pada pemilu tahun
1971, Nahdlatul Ulama' keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa
anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul
Ulama' adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua
partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI,
yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah
timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak
menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari
Nahdlatul Ulama'. Akan tetapi Nahdlatul Ulama' menyambut dengan gembira. Dan
dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama' tidak membentuk federasi, akan
tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang
masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah
kenyataannya?
Kehidupan politik
yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit
semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama'. Sehingga kehidupan
elit ini sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan
Nahdlatul Ulama'. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada
kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan
elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula pertama didirikan sebagai jam'iyyah.
Nahdlatul Ulama'
Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah
Selama Nahdlatul
Ulama' berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai
semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri
terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama,
secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama' telah menjadi kurang peka dalam
menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat
kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul
Ulama' secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya
telah menjadikan Nahdlatul Ulama' tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud
kelahirannya, sebagai jam'iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata kepada
agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat
Nahdlatul Ulama' sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama'. Tidak hanya
sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama' dalam kancah politik
selama berfusi dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri
semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana
dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama'.
Dari kejadian demi
kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar
Nahdlatul Ulama' secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah
Nahdlatul Ulama' tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama' harus
melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah
diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama' Nahdlatul Ulama' (Munas NU) di Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982. (Drs.
KH. Achmad Masduqi).
Diorama Kelahiran NU
Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16
Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku. Selain menghadang arus
modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi
wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)
Kongres Al-Islam
keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di
Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk
memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres
Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam
modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah
mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu
keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas
Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.
KH A Wahab Chasbullah
dari kalangan tradisionalis yang "disingkirkan" dalam perhelatan itu,
mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu
Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa
seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang
menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya
dikesampingkan oleh kalangan modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik
Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya Kiai Wahab
beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif
tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior.
Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang
datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah
sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu
dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak
Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik).
Baru setahun
kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah
pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri
sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan
Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud.
Pertemuan bersejarah
itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH
Hasjim Asj'ari dan KH Bisri Syamsuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma'sum
(Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz
(Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim
(Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah
Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah
Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta'lif Wan Nasr, t.t hal 10-11).
Ketua HBNO
Pertemuan para ulama
di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam'iyah sebagai
wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam'iyah itu diberi nama
Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina
masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama'ah seperti tertuang
dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926,
HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: "Mengadakan perhoebungan di antara
oelama-oelama jang bermadzhab" dan "memeriksa kitab-kitab sebeloemnya
dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab
Ahli Soennah wal Djama'ah atau kitab Ahli Bid'ah."
Dalam forum ulama
yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab
Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama)
dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah.
Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara
lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad
Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus
menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud
menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan
ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan
menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama'ah.
Sampai sekarang,
riwayat ketua Tanfidziyah HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit
dilacak. Hanya saja sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH.
Rois Said berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan
Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54
menyebutkan, Hasan Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas
Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari "marga" Gipo sehingga
nama Gipo diletakan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan
singkatan Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung) dan al-dien (agama).
Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH.
Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan
Abdul Latief Gipo.
Gipo yang berdarah
Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung
tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam
kelaurga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang
Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.
Sebagai orang yang
punya keturunan Arab, Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan
gemuk dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934.
Sebagian keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan
Gresik. Baru sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo
digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang didampingi KH Hasyim
Asya'ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH Wahab Chasbullah sebagai Katib 'Am.
(Sumber: surat permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September
1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said bin Saleh). Pemerintah Hindia
Belanda baru merespon permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan
masuk dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I
x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12
pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan
Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang,
dokumen penting ini kini berada di Universitas Leiden, Belanda.
Kantor HBNO
Presiden HBNO
pertama, H. Hasan Gipo, menempati sebuah rumah yang sederhana sebagai
sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan
otonom NO yakni barisan pemuda Anshor berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya.
Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul meletusnya perlawanan rakyat
melawan penjajah pada 10 November 1945. KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa
Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi
Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH
Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9,
Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus pemberontakan PKI Madiun dan
disusul dengan Angresi Militer Belanda II. Akhirnya kantor PBNU kembali
dipindahkan ke Surabaya.
Sejak ibukota
Republik Indonesia kembali ke Jakarta, 1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta.
Ruangan kantor PBNO terletak di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah
timur stasiun Gambir. Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang
'Waras', sebuah perusahaan dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim,
Zainul Arifin dan Achsien.
Sekalipun
berpindah-pindah kantor, NO telah menjelma menjadi 'bayi raksasa'seperti yang
telah diramalkan KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat
telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan menadapat dukungan yang
luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf. Tak mengherankan jika pada
Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun persiapan, NO mampu menduduki
tiga dari the big four (empat besar) pemenang pemilu dengan jumlah
pemilih 6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi keempat ditempati PKI.
Tentu, untuk ukuran
sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di
Indonesia, kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH
Saifuddin Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk
mencari tempat yang lebih layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH
Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164.
Ketika melihat bangunan fisiknya,
Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya
layak sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin bahwa letak yang
strategis dan harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan dapat diangsur dua
kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang baik dan harga
terjangkau PBNO karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang menggembirakan.
(sumber: Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung,
1987).
Selain itu ada cerita menarik lainnya,
dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan yang sama
yakni makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh yang terkenal sangat
nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat 164 sebagai kantor
PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri."Letaknya kan hanya
300-400 meter dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita,"
kata Dahlan kepada Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari
sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti
diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya
dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4
partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara
200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati
Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI.
Hingga kini, setelah
60 tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan
sebagai kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai
Presiden RI, gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan.
Medio Rojab, 86 Tahun
yang Lalu
Kota Surabaya, kala itu masih berada dalam
wilayah kekuasaan Belanda. Hari menunjukkan tanggal 16 Rajab 1344 H, tepat 86
tahun silam. Puluhan ulama' kharismatik berkumpul di Kota itu. Mereka
bersepakat untuk meneguhkan misi kenabian di Indonesia yang diemban di pundak
para ulama. Mereka berkumpul dibawah pimpinan seorang ulama' besar Hadratus
Syekh KH. Hasyim Asy'ary, dari Pondok Tebuireng, Jombang. Dan dengan hati
ikhlas, didasari kewajiban berda'wah dan menebar persatuan di antara para ulama
menghadapi berbagai ancaman agama, mereka mendirikan Jam'iyyah Nahdlatul Oelama
(NO).
Jam'iyyah ini bukan
organisasi biasa. Tak hanya didirikan berdasarkan pertimbangan strategis
semata. Tetapi lebih dari itu. Para muassis menyiapkan jam'iyyah ini secara
dzahir, juga batin. dari faktor spiritual, lahirnya NU, diawali dengan proses
istikharah dua tahun lebih atas permohonan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari
kepada KH Kholil Bangkalan dengan tujuan meminta petunjuk kepada Allah agar
diberi jalan terbaik untuk melestarikan perjuangan para Ulama mempertahankan
aqidah Islam ahlussunnah wal jamaah. Pada tahun 1924 , KH Kholil Bangkalan
menyampaikan hasil istikharah ke Jombang dengan mengutus santri yang bernama
As'ad Syamsul Arifin.
Ada isyarat
istikharah yaitu sebuah tongkat disertai surat THOHA ayat 17 s/d 23 antara lain
ayatnya "WA MAA TILKA BIYAMIINIKA YAA MUUSAA , QOOLA HIYA 'ASHOOYA…"
. Pada akhir Desember 1925, yakni detik-detik menjelang kelahiran NU ada hasil
istikharah kedua dari Bangkalan dan dikirim kembali ke Jombang lewat santri
kesayangan Mbah Kholil berbentuk tasbih yang dikalungkan di leher santri As'ad
Syamsul Arifin . Setiba di Jombang seuntai tasbih itu diambil langsung oleh
Mbah Hasyim, sambil ditanya apa ada titipan lain, dijawab "ada
bacaan" YAA JABBAAR, YAA QOHHAAR 3X . Sebuah isyarat keperkasaan.
Hasil isyarat istikharah itu bagi Mbah Hasyim sudah cukup, sebagai bahan
pertimbangan bahwa "Komite Hijaz" untuk diubah menjadi Jam'iyyah yang
bersifat permanen dan diberi nama "NAHDLATUL ULAMA" atas usul KH
Abdul Aziz, dengan tujuan utama melaksanakan misi Rasulullah yakni "RAHMATAL
LIL 'ALAMIN" . Tetap perkasa dan tetap berpegang pada tongkat komando
para ulama untuk senantiasa bangkit dan berkhidmat kepada umat dan bangsa .
Paham Keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU)
menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis).
Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir
semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih
mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke
khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali
ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik
dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan
negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan
dinamika sosial dalam NU.
Sikap Kemasyarakatan
Nahdlatul Ulama (NU)
menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis).
Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir
semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih
mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke
Khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali
ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik
dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan
negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan
dinamika sosial dalam NU.
Basis Pendukung
Jumlah warga
Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari
40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat
jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena
secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat
menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan
cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan
cagar budaya NU.
Basis pendukung NU
ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan
industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki
sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di
pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup
dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual
dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang
terjadi selama ini.
Dinamika
Prinsip-prinsip dasar
yang dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku
kongkrit. NU banyak mengambil kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal
itu menunjukkan bahwa organisasi ini hidup secara dinamis dan responsif
terhadap perkembangan zaman. Prestasi NU antara lain:
1. Menghidupkan
kembali gerakan pribumisasi Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo
dan pendahulunya.
2. Mempelopori
perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa
menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.
3. Mempelopori
berdirinya Majlis Islami A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut
memperjuangkan tuntutan Indonesia berparlemen.
4. Memobilisasi
perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui Resolusi Jihad yang
dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
5. Berubah menjadi
partai politik, yang pada Pemilu 1955 berhasil menempati urutan ketiga dalam
peroleh suara secara nasional.
6. Memprakarsai
penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh
perwakilan dari 37 negara.
7. Memperlopori
gerakan Islam kultural dan penguatan civil society di Indonesia
sepanjang decade 90-an.
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran
Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Usaha Organisasi
1. Di bidang agama,
melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak
pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang
pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
3. Di bidang
sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi,
mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan
mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
5. Mengembangkan
usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Kepengurusan
Kepengurusan PBNU 2010-2015
MUSTASYAR
Prof
Dr KH Tholchah Hasan
KH
Muchit Muzadi
KH
Maemun Zubair
KH
Ma’ruf Amin
KH
Idris Marzuki
KH
E Fakhrudin Masturo
KH
Chotib Umar
KH
Dimyati Rois
Tuan
Guru Turmudzi Badruddin
Dr
HM Jusuf Kalla
KH
Abdurrahim Mustafa
Prof
Dr KH Maghfur Usman
Prof
Dr Nasaruddin Umar, MA
KH
Sya’roni Ahmadi
Prof
Dr Ridhwan Lubis
KH
Muiz Kabri
KH
Mahfudl Ridwan
Dr
Ing H Fauzi Bowo
KH
A Syatibi
Kepengurusan Rais Syuriyah PBNU 2010-2015
Rais Aam : Dr KH Sahal Mahfudh
Wakil
Rais Am : KH A Mustofa Bisri
Rais
: KH Habib Lutfi bin
Hasyim bin Yahya
Rais
: KH A.G.H Sanusi Baco
Rais
: Dr KH Hasyim Muzadi
Rais
: KH Masduqi Mahfudh
Rais
: KH Hamdan Kholid
Rais
: KH Masdar F Mas’udi
Rais
: KH Mas Subadar
Rais
: Prof Dr H Machasin
Rais
: Prof Dr KH Ali Mustofa
Yakub
Rais
: Prof Dr H Artani Hasbi
Rais
: KH Ibnu Ubaidillah
Syatori
Rais
: KH Saifuddin Masir, MA
Rais : KH Adib Rofiuddin Izza
Rais
: KH Ahmad Ishomuddin,
M.Ag
Katib
Aam : Dr KH Malik Madani, MA
Katib
: Drs KH Ichwan Syam
Katib
: KH Mustofa Aqil
Katib
: KH Kafabihi Mahrus Ali
Katib
: KH Yahya Staquf Cholil
Katib
: Drs. H. Shalahuddin
Al-Ayyubi, MSi
Katib
: Afifuddin Muhajir
Katib
: H Mujib Qolyubi M.Hum.
Pengurus Tanfidziyyah PBNU 2010-2015:
Ketua Umum : Dr KH Said Aqil Siroj, MA
Waketum
: Drs H As’ad Said Ali
Ketua
: Drs H Slamet Effendy
Yusuf, MSi
Ketua
: KH Hasyim Wahid Hasyim
(Gus Im)
Ketua
: KH Abbas Muin, MA
Ketua
: Drs H Muh. Salim al-Jufri
Ketua
: Prof Dr. H Maksum Mahfudz
Ketua
: Prof Dr. Maidir Harun
Ketua
: Drs. H. Syaifullah Yusuf
Ketua
: Drs. M. Imam Aziz
Ketua
: Drs. H Hilmi Muhammadiyah
Ketua :
Drs. H. Abdurrahman, M.Pd
Ketua
: Drs H Arvin Hakim Thoha
Ketua
: Dr. KH. Marsudi Syuhud
Ketua
: Prof Dr. Kacung Marijan
Ketua :
H Dedi Wahidi, S.Pd, M,Si
Sekjen :
Ir HM. Iqbal Sullam
Wasekjen
: Drs. Enceng Sobirin
Wasekjen
: Drs. Abdul Mun’im Dz
Wasekjen
: Dr. H. Aji Hermawan
Wasekjen
: Dr. H. Affandi Muchtar
Wasekjen
: Dr. dr. Syahrizal Syarif, MPH
Wasekjen
: Dr. H. Hanif Saha Ghofur
Wasekjen
: Imdadun Rahmat, MA
Bendahara : Dr. H. Bina Suhendra
Wabendum
: Dr. H. Abidin, H.H
Wabendum
: Nasirullah Falah
Wabendum :
H Raja Sapta Ervian, SH, M.Hum
Wabendum :
Hamid Wahid Zaini, M.Ag
STRUKTUR DAN PERANGKAT ORGANISASI NU
Struktur Organisasi Nahdlatul Ulama
terdiri dari :
a. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
b.
Pengurus Wilayah. (tingkat Propinsi)
c.
Pengurus Cabang/Pengurus Cabang Istimewa. (tingkat Kab./Kota)
d.
Pengurus Majelis Wakil Cabang.(tingkat Kecamatan)
e.
Pengurus Ranting. (tingkat Desa/Kelurahan)
KEPENGURUSAN
Kepengurusan
Nahdlatul Ulama terdiri dari Mustasyar, Syuriyah & Tanfidziyah.
-
Syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama.
-
Tanfidziyah adalah pelaksana.
1.
Pengurus Besar Nadhlatul Ulama terdiri dari :
a. Mustasyar Pengurus Besar.
b. Pengurus Besar Harian Syuriyah.
c. Pengurus Besar Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Besar Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Besar Lengkap Tanfidziyah.
f. pengurus Besar Pleno.
2. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
terdiri dari :
a. Mustasyar Pengurus Wilayah.
b. Pengurus Wilayah Harian Syuriyah.
c. Pengurus Wilayah Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Wilayah Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Wilayah Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Wilayah Pleno.
3. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama terdiri
dari :
a. Mustasyar Pengurus Cabang.
b. Pengurus Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Cabang Pleno.
4. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul
Ulama terdiri dari:
a. Mustasyar Pengurus Cabang.
b. Pengurus Cabang Harian Syuriah.
c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriah.
d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Cabang Pleno.
5. Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul
Ulama terdiri atas:
a. Mustasyar Pengurus Majelis Wakil Cabang.
b. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian
Tanfidziyah.
e. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap
Tanfidziyah.
f. Pengurus Majelis Wakil Cabang Pleno.
6. Pengurus Ranting Nadhlatul Ulama
terdiri atas:
a. Pengurus Ranting Harian Syuriyah.
b. Pengurus Ranting Lengkap Syuriyah.
c. Pengurus Ranting Harian Tanfidziyah.
d. Pengurus Ranting Pleno.
PERMUSYAWARATAN
1. Permusyawaratan tingkat nasional di
lingkungan Nahdlatul Ulama adalah:
a. Muktamar.
b. Muktamar Luar Biasa.
c. Konferensi Besar.
d. Musyawarah Nasional Alim Ulama.
e. Rapat Koordinasi Nasional.
2. Permusyawaratan untuk kepengurusan
tingkat daerah meliputi:
a. Konferensi Wilayah.
b. Musyawarah Kerja Wilayah.
c. Konferensi Cabangl Konferensi Cabang Istimewa.
d. Musyawarah Kerja Cabang /Musyawarah Kerja Cabang Istimewa.
e. Konferensi Majelis Wakil Cabang.
f. Musyawarah Majelis Wakil Cabang.
g. Musyawarah Anggota.
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama
(NU) meliputi:
2. 31 Pengurus Wilayah
2. 339 Pengurus Cabang
2. 12 Pengurus Cabang Istimewa
2. 2.630 Majelis Wakil Cabang
2. 37.125 Pengurus Ranting
PERANGKAT NU
1. LEMBAGA-LEMBAGA
2. LAJNAH
3. BADAN OTONOM
Lembaga adalah
perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai
pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama berkaitan dengan suatu bidang tertentu.
Lajnah adalah
perangkat organisasi Nahdlatul Ulama untuk melaksanakan program Nahdlatul Ulama
yang memerlukan penanganan khusus.
Badan Otonom
adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan
kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu
dan beranggotakan perorangan.
Pengurus Lembaga-Lajnah PBNU masa khidmah 2010-2015
Berikut ini adalah nama-nama pengurus
(ketua-sekretaris-bendahara) lembaga dan lajnah PBNU masa khidmah 2010-2015
yang dilantik oleh Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh, Selasa (1/6) malam di
Jakarta.
1. RABITHAH MA’AHID ISLAMIYYAH (RMI)
Ketua
: Dr. H. Amin
Haidari
Sekretaris
: Drs. Miftah Faqih, MA
Bendahara
: Drs. Masrur Ainun Najih
2. LEMBAGA KEMASLAHATAN KELUARGA NAHDLATUL ULAMA (LKKNU)
Ketua :
Dr. Arif Mudatsir Mandan, MA
Sekretaris
: Drs. M. Andi Ilham
Bendahara
: Syamsudin Rentua
3. LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA
Ketua
: Prof.
Dr. Mansur Ramli
Sekretaris
: Dr. H. Mamat S.
Burhanuddin, MA.
Bendahara :
Moh. Zamzami, M.Si
4. LEMBAGA
PENGEMBANGAN PERTANIAN NAHDLATUL ULAMA (LPP NU)
Ketua
: Prof.
Dr. Ahmad Dimyati
Sekretaris
: Imam Pituduh, SH, MH
Bendahara
: Drs. H. Nusron Wahid
5. LEMBAGA PEREKONOMIAN NAHDLATUL ULAMA (LPNU)
Ketua
: Drs.
H. Muhyiddin Arubusman
Sekretaris
: Drs. H. Mustholihin
Madjid
Bendahara
: Erwin Aksa Mahmud
6.LEMBAGA DAKWAH NAHDLATUL ULAMA (LDNU)
Ketua
: Dr.
KH. Zaki Mubarok
Sekretaris
: Drs. Nurul Yaqin
Bendahara
: Drs. H. Harun Abdullah
7. LEMBAGA TA’MIR MASJID NAHDLATUL ULAMA (LTMNU)
Ketua
: KH. Abdul Manan
A. Ghani
Sekretaris :
Ibnu Hazen
Bendahara :
Ir. Hari Yudiarto
8. LAJNAH TA’LIF WAN
NASYR NAHDLATUL ULAMA (LTNNU)
Ketua :
H. M. Sulton Fatoni, M.Si
Sekretaris :
Ulil Hadrawi, M.Si
Bendahara :
Muhammad S.Pd
9. LEMBAGA KAJIAN DAN
PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA NAHDLATUL ULAMA (LAKPESDAM NU)
Ketua
: Yahya Maksum
Sekretaris
: Lilis Nurul Husna
Bendahara
: Ahmad Miftah
10. LEMBAGA KESEHATAN NAHDLATUL ULAMA (LKNU)
Ketua
: Dr. dr. Imam
Rasyidi, Sp.OG (k) OnK
Sekretaris :
Dra. Anggia Ermarini, MPd
Bendahara :
Drs. Altofurrahman
11. LEMBAGA AMIL
ZAKAT NAHDLATUL ULAMA (LAZNU)
Ketua :
KH. Masyhuri Malik
Sekretaris :
Muhammad Zuhdi, MA
Bendahara :
Agus Salim Thoyib
12. LEMBAGA WAQAF DAN
PERTANAHAN NAHDLATUL ULAMA (LWPNU)
Ketua :
Ahmad Fayumi, MA
Sekretaris :
H. Faza Wirda
Bendahara :
Yanuar Bagdja
13. LEMBAGA BAHTSUL
MASA’IL NAHDLATUL ULAMA (LBMNU)
Ketua
: KH. Zulfa Musthofa
Sekretaris
: KH. Drs. Miftahul Falah
Bendahara :
H. Ali Mubarok, SE, MBA.
14. LEMBAGA BANTUAN
HUKUM NAHDLATUL ULAMA (LBHNU)
Ketua
: H. Andi Najmi
Fu’ady, SH
Sekretaris
: Ahmad Rifai, SH
Bendahara
: Zainul Mujahidin Syaichu
15. LAJNAH FALAKIYAH NAHDLATUL ULAMA (LFNU)
Ketua
: KH. A. Ghozalie
Masroeri
Sekretaris
: Nahari Muslih, SH
Bendahara
: Ahmad Qorob, S.Pd
16. LEMBAGA SENIMAN BUDAYAWAN MUSLIMIN INDONESIA (LESBUMI)
Ketua
: Dr. Al-Zastrow
Ngatawi
Sekretaris
: Ir. Suwadi D. Pranoto
Bendahara
: Baihaqi Saifuddin
17. LAJNAH PENDIDIKAN TINGGI NAHDLATUL ULAMA (LPTNU)
Ketua
: Dr. H. Noor Achmad,
MA
Sekretaris :
Dr. Muhammad Zain
Bendahara :
Edi Kusnadi
18. LEMBAGA
PENANGGULANGAN BENCANA DAN PERUBAHAN IKLIM NAHDLATUL ULAMA (LPBINU)
Ketua :
Ir. Avianto Muhtadi, MM
Sekretaris :
Drs. Sultonul Huda, M.Si
Bendahara :
M. Ali Yusuf, SAg, Msi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar